Rabu, November 12, 2008

Rezeki atas doa Ibu

Hari sabtu pagi aku rada malas bangun, sambil tiduran aku lihat televisi, tiba-tiba teringat tentang rencana acara peringatan 1000 meninggalnya ibuku, yang kemungkinan jatuhnya pada 4 Desember 2008. Aku langsung telepon adik-adikku di Sidoarjo. Satu per satu aku telepon tapi pada sibuk semua, satunya, Heru, adikku yang bungsu teleponnya malah ga diangkat, meski aku sampai empat kali kontak. Aku yakin HP-nya ketinggalan, karena dia suka mancing, mungkin HP-nya ketinggalan di rumah.

Aku coba telepon Yuli, adikku, juga sibuk terus, lalu aku coba lagi, baru berhasil. Aku tanya tentang kondisi keluarganya dulu, alhamdulillah baik-baik. Aku lalu menayakan tentang rencana peringatan 1.000 hari Ibu. Dia bilang awal Desember 2008, tapi tanggalnya belum ditentukan. Aku jadi ingat pesan alamarhum Ayahku, beliau bilang, "Yok, tolong kalau kamu ga sibuk, harap pulang untuk memperingati 1.000 hari ibumu."

Sayang Ayahku setelah menyampaikan pesan dan mengatur segala biaya, dimana anak-anaknya tidak diperkenankan repot-repot, karena Ayah yang atur katering dan segalanya, kecuali bila ada yang mau menyumbang. Tujuan Ayahku biar tidak merepotkan anak-anaknya. Keenam anaknya setuju, satu saja yang tak menjawab, karena berbeda faham. kakaku kedua Muhammadiyah, dia menganggap pengajian memperingati 1.000 hari Ibuku adalah bid'ah, dan bid'ah adalah sesat. Aku dan kakakku sulungku serta adik-adikku, diam saja. kita sepakat untuk tidak membuka forum debat. karena pesan Ayahku, tidak perlu memperdebatkan persoalan yang tidak terlalu penting. Ayahku setelah berpesan itu, tiga bulan berikutnya meninggal dunia.

Pembicaraan dengan adikku, Yuli pun berkembang kearah silaturahim lebaran, dimana aku tidak pulang ke Sidoarjo berkumpul dengan keluarga. Dalam pembicaraan adikku, dia berkeluh kesah soal mobilnya yang ditabrak mobil Jazz, dan penabrak tidak bertanggung jawab, langsung lari kencang meninggalkan bekas pada bamper mobil adikku.

Tiba-tiba saja, dia nyeletuk, sudah ga punya uang, mobil malah ditabrak orang. "mas, Yok, waktu ke mekkah haji dan umrah kemarin apakah ga mendoakan aku, masa yang kaya cuman sampeyan saja," tanyanya.

Aku terhenyak dengan pertanyaan itu. Aku ga mengira kalau adikku bakal bertanya seperti itu. Aku jawab, semua aku doakan agar hidup layak dan sejahterah, nah soal realisasinya, kan kembali kepada masing-masing.

Aku lalu memutar otak untuk kembali pada masa lalu, saat kami masih sama-sama kecil di rumah. Aku waktu itu ingat betul, di keluarga, aku memang yang paling sering dimintai tolong ibuku untuk membantu mencarikan pinjaman uang untuk adik-adikku atau kakakku bila waktunya bayar sekolah. Suadaraku mereka umumnya ditugaskan Ibuku hanya untuk berfikir dan belajar mencapai prestasi, selebihnya urusan uang saku dan bayar sekolah adalah urusan Ibuku, karena ayahku bertugas di luar pulau sebagai militer. Dan, aku adalah anak yang kerap disuruh Ibu. Meski agak malas-malasan, semula, tapi Ibuku, selalu bilang," Sudahlah, tolong kakakmu, adikmu, siapalagi yang ibu mintai tolong," pesannya dengan suara pelan.

Aku pun menurut saja, mulai dari menjual beras jatah mengganti dengan beras yang layak untuk makan, belanja ke pasar, karena aku sekolah masuk siang, hingga menjual makanan ringan di kantin-kantin. Semua aku laksanakan dengan senang saja, sambil bermain.

Hingga aku lulus SMA, aku kebingungan, terus kuliah atau cari kerja. Orangtuaku sudah pensiun dari TNI, meski pangkatnya perwira menengah, tapi tetap saja pensiunnya kecil, dan Bapakku tak mau ngobyek seperti pensiunan TNI yang sederajat dengan Ayahku.

Aku pun akhirnya nekad ikut tes sipenmaru, dan alhamdulillah diterima di Universitas Jember, Fakultas Sastra Jurusan Sejarah. Aku pesan kepada ibu dan Bapakku, tak perlu repot mengirim uang bulanan, karena aku akan berusaha sekuat tenaga mencari jalan keluar yang halal untuk bisa lulus S1.

Kuliahpun lulus dan aku melamar menjadi seorang wartawan di Surya Surabaya. Saat ada kegiatan di Pelabuhan aku bertemu dengan seorang pengusaha keturunan Arab di sekitar Masjid Sunan Ampel Surabaya. Dia sukses membuka travel, masih mudah waktu itu sekitar 40 tahunan. Aku coba wawancarai dia, tentang kisah suksesnya, membangun usaha hingga punya cabang dimana-mana.

Dia hanya menjawab enteng saja. "Aku selalu memberi Ibuku uang sebanyak-banyaknya, saat Ibuku butuh. Bahkan aku kirim uang untuk Ibuku biar ibuku sejahterah. Dan aku yakin Allah swt akan mengganti minimal 10 kali lipat karena doa ibu itu sangat didengar Allah swt. Aku yakin itu. Itulah kunci suksesku," katanya sambil senyum.

Aku tulis profil tentang dia dan kutipannya yang menurutku sangat berharga itu. Aku mencoba untuk menerapkannya.

Pada tahun 1993, Ibuku datang ke rumah kontrakanku. Ibu bilang butuh uang, nanti akan diganti bila rapelan gaji Bapakku sudah keluar. Ibuku pinjam Rp 1.000.000. Aku masih ingat waktu itu gajiku masih Rp 400 ribu per bulan, dengan anak satu. aku bilang istriku, aku punya tabungan cuma Rp 900 ribu. Istriku pun menyetujui meminjamkan uang belanja untuk menggenapkan Rp 1.000.000.

Ibu terus-terusan bertanya, ini uang tabungan atau uang belanja sehari-hari, aku dan istriku sepakat menjawab, uang tabungan. Ibuku pun berterimakasih, lalu pamit pulang. Aku senang bisa bantu Ibu meski agak bingung mencari ganti uang belanja. Untung anakku tak butuh susu kaleng, cukup dengan ASI, jadi soal makan bisa direm dikit-dikit, dan aku hobi banget puasa, sehingga bisa hemat.

Dua bulan setelah itu ada temenku datang memberi tau kalau ada rumah dijual dengan harga murah. Uang mukanya Rp 2.500.000, sekarang masih tahap pembangunan. Aku langsung mendatangi developernya, mencari informasi, ternyata benar. Saat aku datang, ternyata temenku yang jadi pengurusnya, dan aku disuruh booking dulu. Aku bilang ga punya uang. Dia bilang santai saja, karena pembangunan membutuhkan waktu 1 - 1,5 tahun. uang muka ga usah dipikir. Maka aku langsung pilih rumah.

Benar 1,5 tahun kemudian, tabunganku sudah mendekati Rp 2 juta, aku bisa beli rumah karena kontrakanku juga sudah mulai habis. Saat rumah sudah jadi, semua melunasi, aku masih saja belum dapat panggilang untuk melunasi, tapi anehnya disuruh tandatangan akta jual beli rumah. istriku sampai heran.

Aku jadi ingat pesan pengusaha travel itu. Kebaikan dan keihlasan pada Ibuku, membuat aku mendapat kemudahan yang menurutku luar biasa.

Aku lalu merunut lagi ke telepon adikku, apa yang luar biasa dariku sehingga aku bisa dinilai oleh saudaraku sendiri lebih makmur. Hingga kini aku terus instrospeksi, apakah ibadahku, apakah doaku, apakah zikirku, apakah kebiasaanku puasa, apakah salat malamku, apakah sedekahku. Aku belum berani merumuskan, yang jelas aku akan terus meningkatkan ibadah dan selalu bersyukur atas nikmat yang diberikan kepadaku dan keluargaku.(pit)

Tidak ada komentar:

Komentar