Kamis, November 13, 2008

Buruh dan Jago Sulap


Demo besar melanda Gedung Sate Bandung, tempat Gubernur Jawa Barat H Achmad Heriyawan berdinas mengemban amanah selama lima tahun ke depan. Persoalan yang diteriakkan oleh pendemo yang mengatasnamakan sebagai perwakilan Buruh Se-Jawa barat itu menuntut agar Gubernur Jawa Barat meneken surat yang 'mengharuskan' pemerintah kota dan kabupaten menaikkan UMR sebesar 20 persen pada tahun 2009. Berdasarkan SK Gubernur kenaikan ditetapkan sebesar 10,56 persen.

Besarnya Upah Minimum Provinsi (UMP) Jawa Barat Rp 628.191 atau setara dengan harga 104,6 liter bensin. Bila saja, buruh pabrik itu memiliki tempat tinggal di desa berarti dia harus sewa rumah atau kos, di Bandung tarif kos minimal Rp 300.000 untuk satu kamar satu orang dengan luas kamar 3x2,5 meter. Di sekitar pabrik memang ada kos Rp 150.000 - Rp 200.000 per kamar. Bila memilih kos yang sangat sederhana saja, upah buruh sudah tinggal Rp 428 ribu. Makan sekali minimal Rp 5.000. Padahal untuk kerja giat dan stamina baik harus makan tiga kali, Rp 5.000 x 3 = Rp 15.000 kali 30 hari, total sudah Rp 450.000.

Apakah buruh tidak butuh transpor? Apakah terus-terusan membujang? Biasanya mereka menutup biaya itu dengan mengikuti jadwal lembur yang diatur oleh perusahaan, uang lembur itu biasanya untuk menyambung hidup. Tapi masih ada satu pertanyaa lagi, kebanyakan buruh merokok. Ini berarti upah minimum provinsi (UMP) Jawa Barat itu sama sekali sulit untuk diterima oleh akal sehat, baik untuk kalangan berpendidikan rendah sekalipun.

Bagaimana dengan kenaikan 10,56 persen, atau sebesar Rp 66.336? Kenaikan ini sama sekali tak berarti apa-apa. Mengapa? Mari kita simak, harga kebutuhan pokok sekarang mulai perlahan naik, meski pemerintah telah menjanjikan harga BBM turun Rp 500 per liter mulai Desember 2008. Penurunan itu tentu tidak serta merta menurunkan harga barang kebutuhan.

Pasalnya, BBM hanya komponen kecil dari biaya produksi. Komponen terbesarnya adalah bahan baku. Tekstil misalnya, bahan bakunya sudah susah di dapat dari dalam negeri. begitu juga dengan produk sepatu, negeri ini sudah menjadi tukang jahit, semua bahan bakunya diimpor. Padahal untuk mengimpor barang, standar mata uang yang digunakan adalah dolar AS. Coba perhatikan berapa harga dolar terhadap rupiah sekarang ini. Pada penjualan Kamis (13/11) dolar diperdagangkan dikisaran Rp 11.913 berdasar data Bank Indonesia, dan tidak menutup kemungkinan akan naik lagi, karena kebutuhan dolar di dalam negeri terus meningkat seiring dengan meningkatnya kebutuhan untuk membayar utang luar negeri, baik swasta maupun pemerintah.

Sangat wajar bila buruh menuntut kenaikan lebih dari 10,56 persen. Pertimbangan rasional yang mengikutinya yakni, inflasi pada bulan Oktober 2008 saja sudah menyentuh angka 11,77 persen. Inflasi ini terus naik, seiring dengan naiknya mata uang dolar, karena para pemilik uang akan asyik bermain dolar sehingga uang yang beredar dalam bentuk rupiah menjadi lebih banyak. Bila pemerintah tidak segera mengantisipasi dengan menaikkan suku bunga SBI lagi, maka tidak menutup kemungkinan, dolar makin jaya dan inflasi makin menggila.

Bila saja kenaikan UMP itu hanya 10,56 persen, artinya kenaikan UMP itu bukannya membuat buruh sejarhtera namun justri nombok. Untuk mengikuti laju inflasi saja, sudah tidak mencukupi. Itu belum kita hitung kenaikan harga barang setelah dolar naik. Penurunan harga bensin tentu tidak terlalu signifikan bagi masyarakat buruh, karena mereka bukan penikmat bensin. Justru yang diuntungkan adalah para pengusaha dan kelas menengah serta atas yang konsumsi BBM jenis premium alias bensin cukup tinggi.

Sebuah mobil sedan 1.500 cc saja, untuk aktivitas kerja satu bulan, dengan jarak tempuh dari rumah ke kantor 10 km, dan operasional sehari-hari bila dia seorang tenaga lapangan atau manager marketing atau sales, akan menghabiskan minimal 100 liter. Itu baru satu mobil, kebanyakan level manager memiliki lebih dari satu mobil, apalagi pemiliknya, dipastikan punya koleksi mobil mewah yang notabene boros BBM. Itu sebagai gambaran bahwa penikmat BBM premium bukanlah buruh.

Sangat susah bagi teman-teman buruh pabrik merumuskan arti kebutuhan dalam hitungan angka-angka secara matematis. Hal itu adalah yang mustahil, menurut almarhum Asmuni Pelawak Srimulat, Hil yang Mustahal. Tapi mengapa pemerintah tetap saja takut mengambil sikap untuk menghadapi keresahan buruh?

Dimata pengusaha menaikkan upah buruh itu sebanarnya bukan hal mudah, karena buruh itu masuk pada 30 persen atau lebih komponen biaya. Menaikkan upah tidak dengan hati-hati sama dengan mengajak menutup pabrik secara cepat. Namun ada persoalan yang lebih menjadi perhatian bagi pengusaha, yakni suku bunga kredit.

Sebagaimana diketahui, dunia usaha sangat jarang yang menggunakan modal sendiri, sebagian besar menggunakan modal bank, dengan meningkatnya suku bunga kredit akibat krisis finansial, tentu membuat biaya bunga yang harus dibayar makin besar. Hal itu masih ditambah lagi dengan melemahnya daya beli masyarakat, khususnya masyarakat tujuan pemasaran produk. Misalnya, sepatu, Amerika akan banyak menolak produk impor dari Indonesia, karena mereka lagi sepi, begitu juga tekstil dan produk tekstil.

Hal itulah yang membuat pengusaha sulit memenuhi tuntutan untuk menaikkan upah buruh. lantas kepada siapa buruh harus mengadu? Pemerintah, jawabnya. Tentu saja pemerintah tidak harus serta merta mensubsidi UMP atau UMR, namun pemerintah harus benar-benar merealisasi janjinya untuk pendidikan gratis dan biaya kesehatan gratis. Bagi masyarakat kecil, buruh pabrik di kota atau di desa, makan adalah hal muda, tetapi sekolah dan biaya kesehatan adalah hal mahal yang susah dicernah oleh akal sehat mereka.

Untuk itu, akan lebih bijak bila pemerintah tidak hanya menolak permintaan buruh untuk menaikkan UMP, tetapi juga harus berani meyakinkan, bahwa biaya pendidikan dan kesehatan benar-benar gratis. Selain itu, harus ada keberanian, KORUPSI di pemerintahan harus dibersihkan. Tidak cukup hanya seorang Gubernur saja yang bersih, tapi semua PNS di sekitarnya harus mengubah gaya hidupnya, yang mewah meski gaji kecil. Biasanya kita menyebut PNS itu sebagai Jago Sulap, gaji kecil tapi penghasil besar.(pit)

Tidak ada komentar:

Komentar