Kamis, November 27, 2008

Fatwa Haram Merokok

Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Merokok Haram hukumnya, bisa dipastikan akan menimbulkan pro dan kontra di kalangan umat Islam di negeri ini. Banyak kepentingan yang berkecamuk dalam setiap komentar tersebut, ada yang murni menyuarakan kepentingan pribadi si perokok, ada juga yang menyuarakan kepentingan petani tembakau dan yang paling keras suaranya bisa dipastikan datang dari pengusaha pabrik rokok, beserta jaringannya.

Merokok haram hukumnya itu berdasarkan makna yang terindikasi dari zhahir ayat Al-Qur’an dan As-Sunnah serta i’tibar (logika) yang benar. Dalil dari Al-Qur’an adalah firmanNya.“Artinya : Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan” [Al-Baqarah : 195]Maknanya, janganlah kamu melakukan sebab yang menjadi kebinasaanmu.

Wajhud dilalah (aspek pendalilan) dari ayat tersebut adalah bahwa merokok termasuk perbuatan mencampakkan diri sendiri ke dalam kebinasaan. Sedangkan dalil dari As-Sunnah adalah hadits yang berasal dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam secara shahih bahwa beliau melarang menyia-nyiakan harta. Makna menyia-nyiakan harta adalah mengalokasikannya kepada hal yang tidak bermanfaat.

Sebagaimana dimaklumi, bahwa mengalokasikan harta dengan membeli rokok adalah termasuk pengalokasiannya kepada hal yang tidak bermanfaat bahkan pengalokasian kepada hal yang di dalamnya terdapat kemudharatan. Dalil dari As-Sunnah yang lainnya, sebagaimana hadits-hadits dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berbunyi.“Artinya : Tidak boleh (menimbulkan) bahaya dan juga tidak oleh membahayakan (orang lain)” [Hadits Riwayat Ibnu Majah, kitab Al-Ahkam 2340]

Bila dirunut lebih dalam, Fatwa itu muncul dari sebuah kajian yang mendalam dari sebuah Al Quran maupun Hadist oleh para ulaman. Namun masyarakat bisa saja merespon positif atau sebaliknya. Demikian juga respon masyarakat Islam terhadap berbagai Mazab dalam Islam. Perbedaan pendapat untuk sebuah kebaikan dan pendalaman pemahaman Islam tentu sangat baik. Hanya saja sejauhmana masyarakat bisa menerima fatwa MUI itu bila imbasnya pada urusan perut.

Hal ini tentu beda dengan ajaran Al Quran yang mengharamkan babi, hampir bisa dipastikan umat Islam menjauhinya. Namun, ketika ajaran haram itu menyentuh pada khamer, atau minuman keras, sebagian umat menjauhi dan tidak sedikit yang masih bersahabat. Karena minuman keras dilekatkan dengan gaya hidup anak muda, sehingga segmen anak muda yang masih dangkal pemahaman agamanya mudah terjerembab ke minuman keras.

Begitu juga dengan rokok. Rokok lebih ditonjolkan sebagai gaya hidup anak muda. Dan sejak kecil umat Islam tidak diajarkan tentang haramnya merokok, sehingga jumlah perokok terus meningkat. Bisa dikatakan di negeri yang mayoritas masyarakatnya muslim ini, justru menjadi surga bagi perokok dan gudang uang bagi pengusaha rokok. Simak saja perkembangan pabrik rokok di negeri ini. Pada 1980-1990 hanya ada 200 pabrik, yang lalu tumbuh pesat sejak tahun 2000 menjadi 800 pabrik dan 2001- 2002 menjadi 1.800 pabrik dan saat ini ada 4.212 pabrik.

Dari jumlah pabrik tersebut hanya enam pabrik rokok besar, namun menguasai 80 persen kapasitas produksi dan 16 pabrik skala menengah. Pada tahun 2007 pabrik rokok tersebut menghasilkan 237 miliar batang rokok. Pendapatn cukai yang masuk ke kantor negara pada tahun 2008 ditargetkan Rp 44 triliun.

Siapa saja yang membeli rokok tersebut? Peneliti Senior LD-FEUI dan Guru Besar FEUI, Prof Dr Sri Moertiningsih Adioetomo, pada 2005 lalu ada lebih dari 37 juta rumah tangga perokok yang rata-rata per rumah tangga membelanjakan sekitar Rp 113.000 untuk membeli rokok setiap bulannya. Jika dihitung, pengeluaran untuk rokok nasional tahun 2005 lalu mencapai Rp 50,84 triliun.

Dari rata-rata belanja rumah tangga miskin untuk rokok sebesar 12,43% dari total pengeluarannya, jumlah tersebut setara dengan 15 kali pengeluaran untuk daging atau sekitar 0,85%, delapan kali pengeluaran untuk pendidikan atau sekitar 1,47%, dan enam kali pengeluaran untuk kesehatan atau sekitar 1,99%. Parahnya pengeluaran rumah tangga perokok termiskin untuk rokok yakni 12,6% lebih tinggi dibanding rumah tangga perokok terkaya yang hanya 8,3%.

Bila saja fatwa MUI tentang merokok Haram hukumnya itu dipatuhi oleh umat Islam di Indonesia, maka dapat dipastikan pemerintah akan puyeng mencari pengganti pendapatan yang besar tersebut. Selain itu berapa ribu karyawan pabrik rokok yang mengaggur ditambah dengan jumlah petani tembakau di sentra pertanian tembakau. Jumlah pengangguran itu akan sangat membahayakan bagi stabilitas keamanan.

Membangun kesadaran untuk mengurangi merokok rasanya tidak cukup hanya sebuah fatwa MUI, tetapi harus ada political will yang kuat dari pemerintah. Pemerintah bisa saja bila bertekad ingin mengurangi secara perlahan pendapatan cukai dengan cara menaikkan tarif cukai 200 persen, karena menaikkan 100 persen cukai tidak akan banyak pengaruh bagi perokok.

Selain itu harus disiapkan betul langkah-langklah mengantisipasi lonjakan jumlah pengangguran dari buruh pabrik rokok. Bila pemerintah memiliki keberanian yang tinggi untuk mengurangi produksi rokok secara drastis, maka tanpa fatwa MUI pun jumlah perokok akan menurun tajam.(pit)

Tidak ada komentar:

Komentar