Senin, September 29, 2008

Mudik : Latihan pulang ke Rahmatullah


Jumlah kendaraan di jalan raya makin sesak, suara deru knalpot seperti ada konvoi besar. Asap di jalan-jalan mengepul bak ada kebakaran. Dua arah jalur kendaraan semuanya padat dengan mobil dan motor. Hampir semua mobil dipenuhi penumpang dan masih ditambah lagi beban muatan diatas kap mobil yang ditutup dengan terpal. Wajah para penumpang mobil meski berdesakan menyiratkan rona kerinduan akan kampung halaman , sanak famili, teman dan handai tolan yang mungkin sudah 1 tahun, atau bahkan lebih, mungkin ada yang sudah 10 tahun tidak pulang.

Mudik lebaran memang paling dahsyat di dunia terjadi di Indonesia. Tentu bisa dimaklumi karena mayoritas penduduknya beragama Islam. Mereka sama sekali tak mau peduli, dengan opini para pakar atau peraturan pemerintah, agar tidak mudik bersamaan di saat lebaran. Bahkan fatwah Ulama pun banyak dicatut, dengan berdalih bahwa silaturahim dan bermaaf-maafan tidak sebatas pada saat Idul Fitri saja. Namun, tak satupun yang menggubrisnya, mudik tetap mudik, apapun halangannya akan diterjang. "Pokoknya mudik." dalam hati mereka.

****

Mbah Nur Sufi kelihatan santai di teras mushollah sambil membaca tafsir Al Quran. Para santrinya sibuk membersihkan mushollah, menyapu, mengepel, membersihkan lampu, dan menjemur bedug agar kulitnya tidak kendor dan lebih enak ditabuh dan suaranya lebih merdu. Waktu salat Ashar sudah makin dekat, bak mandi dikuras agar tidak ada jentik-jentik, lantainya di sikat, setelah itu baru diisi beramai-ramai. Sesekali Mbah Nur Sufi memperhatikan para santrinya yang rata-rata masih duduk di bangku sekolah dasar itu dengan senyum.

Setelah selesai, para santri santai ada yang selonjor kaki, ada yang bersandar di dinding sebagian bersilah. Mbah Nur tidak ingin berceramah sore itu, karena yakin para santri sedang kecapaian, dan biasanya mereka kurang perhatian bila diberi ceramah agama. Lagian waktu ceramah biasanya setelah salat Ashar, saat itu Ashar masih kurang 30 menit lagi.

"Mbah, kenapa banyak orang mudik. Apa Nabi Muhammad saw dulu juga mudik?" tanya Wildan.

Mbah Nur Sufi langsung mencari asal suara, setelah mendengarkan dengan seksama, Mbah Nur pun tersenyum mendengar pertanyaan cerdas dari muridnya, setelah melihat di jalan banyak orang Pulang Kampung alias Mudik menjelang Lebaran.

Mbah Nur mengutip sebuah hadits : “Maukah kalian aku tunjukkan amal yang lebih besar pahalanya daripada salat dan shaum?” tanya Rasulullah Saw. kepada sahabat-sahabatnya.

“Tentu saja,” jawab mereka.

Rasulullah kemudian menjelaskan, “Engkau damaikan yang bertengkar, menyambung persaudaraan yang terputus, mempertemukan kembali saudara-saudara yang terpisah, menjembatani berbagai kelompok dalam Islam, dan mengukuhkan ukhuwwah di antara mereka adalah amal shaleh yang besar pahalanya. Barangsiapa yang ingin dipanjangkan usianya dan dibanyakkan rizkinya, hendaklah ia menyambung persaudaraan.” (H.R. Bukhari dan Muslim).

Sebelum santri bertanya arti persaudaraan, Mbah Nur menukil sebuah definisi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, silaturahmi diartikan persaudaraan, persahabatan. Dari sini masih bisa dikembangkan menjadi berkunjung, mendatangi, mengeratkan tali kasih, bahkan bisa diperluas lagi dengan saling berkomunikasi (tukar pikiran), curhat (menyampaikan isi hati), dan saling memaafkan.

Meski diyakini tidak semua pemudik memahami atau mengetahui hadits ini, namun bisa dipastikan para pemudik itu rindu untuk bertemu saudaranya yang telah lama ditinggal bahkan tidak berkomunikasi. Meski ada telepon, namun belum tentu bisa berkomunikasi secara enak dan santai dengan keluarga di desa tempat kelahirannya. Dengan pulang, maka akan bisa bertemu wajah, dapat saling dekat kembali setelah dipisahkan jarak oleh pekerjaan.

Dengan pertemuan, sebuah suasana bahagia bisa membuat hati senang. Dan hati yang gembira akan mendorong semangat. Karena itu, bila sering bersilahturahim Allah menjamin panjang usia dan banyak rezeki. Orang mudik tentu membawa oleh-oleh, tak perlu dilihat dari sisi nilai oleh-olehnya, namun rasa syukur bisa berbagai itu yang harus dilihat. Ini yang disebut rezeki silaturahim. Yang datang membawa oleh-oleh yang didatangi menyiapkan makanan dan minuman. Dan sebelum berpisah, mereka biasa saling mendoakan keselamatan dan banyak rezeki.

Pertemuan seperti inilah yang membuat orang-orang yang jauh dari tempat kelahirannya nekad pulang apapun yang terjadi akan dihadapi. Jalan macet, panas, puasa, semua akan dijalani dengan penuh sabar demi sebuah silaturahim.

"Mengapa harus menunggu Lebaran," tanya Mbah Nur.
Sebagaimana biasa para santri tau, pertanyaan itu tak perlu dijawab karena akan dijawab sendiri oleh Mbah Nur.

Lebaran adalah waktu yang paling tepat untuk mudik dan bersilaturahmi. Karena, Idul Fitri selalu diawali dengan puasa Ramadhan, dimana setiap kaum muslim mensucikan diri dengan puasa. Menghindari perkataan yang tidak perlu, menahan emosi, menahan nafsu sahwat dengan istrinya, dan tentunya menahan haus dan lapar. Kemudian dilanjutkan dengan mensucikan harta dengan membayar zakat, infaq dan sedekah.

Mereka yang mudik itu dengan kondisi jiwa dan harta yang suci, dan dilengkapi dengan saling bermaaf-maafan kepada kelaurga, saudara dan tetangga, serta guru dan tokoh masyarakat yang telah lama ditinggalkan. Pada masa itu, Allah menjamin menghapus dosa hambahnya, dan umat Nabi Muhammad saw akan kembali bening hatinya sebening kaca tanpa noda.

Sebenarnya, lanjut Mbah Nur Sufi, mudik itu bukan sekedar untuk melampiaskan rasa kangen dengan keluarga. Tetapi sebuah ritual yang melatih kita untuk persiapan pulang ke Rahmatullah.

"Kok bisa Mba?"

Menurut Mbah Nur, untuk persiapan mudik yang intinya mensucikan jiwa, mereka secara ikhlas melaksanakan ibadah puasa, dan membayar zakat serta melepaskan semua ego untuk saling bermaaf-maafan. Begitu juga kita nanti kelak ketika akan pulang ke rahmatullah alias meninggal dunia, seharusnya mempersiapkan dengan lebih baik.

Mudik ke Rahmatullah itu, adalah mudik besar. Karena kita harus mempersiapkan bekal yang cukup untuk waktu dan perjalanan yang tak tentu batasnya. Tak ada satupun orang yang tau, kapan usainya alam kubur dan tibanya hari pembalasan. Waktunya sangat panjang dan tak terhingga. Beda dengan mudik lebaran, paling maksimal untuk Jawa, dua hari perjalanan sudah sampai kampung halaman. Itupun sudah dihitung dengan tambahan macet di jalan.

Mudik ke Rahmutullah, bekalnya selain bekal harta yang banyak, juga harus bekal ibadah. Bekal harta dimaksudkan untuk membekali anak-anak kita yang ditinggalkan agar tidak menjadi generasi yang lemah. Saat ini banyak orangtua yang sadar atau tidak telah melalui tahapan meninggalkan anak atau generasi yang lemah. Sebagai contoh, orangtua yang mampu secara harta duniawi namun tidak memberi pendidikan yang baik pada anak-anaknya, ketika orangtuanya pensiun, anak-anaknya tidak mampu lagi menghdapi tantangan hidup, karena selama orangtuanya mampu semua fasilitas dipenuhi orangtuanya. Anak menjadi ketergantungan pada orangtua hingga usia dewasa tak bisa mandiri.

Harta saja memang tidak cukup, namun harta yang dinafkahkan secara benar, misalnya untuk investasi sekolah anak-anaknya agar anak-anaknya kelak menjadi orang yang berilmu dan mandiri serta bermanfaat bagi masyarakat. Harta itu juga untuk mempersiapkan diri agar terus mengalirkan pahala, yakni dengan menafkahkan ke jalan Allah, baik dalam bentuk sedekah, infaq atau waqaf, dan zakat harta maupun zakat fitrah.

Bekal ibadah, salat wajib lima waktu, ditambah salat sunnah dan tak meninggalkan salat tahajud sebagai ibadah tambahan. Dengan salat, hati menjadi tidak beku, sehingga mudah berempati kepada sesama, egonya bisa ditekan, dan menjadi seorang yang peduli pada kaum yang lemah. Dan mendidik anaknya pun tidak hanya pintar ilmu dunia tetapi juga menjadi anak yang sholeh.

Bekal ilmu, bekal yang satu ini untuk memperpanjang usia. Usia kita bisa melebihi jasad kita. Contoh, Al Gazali, penulis buku Ihya' Ulumudin, dia akan dikenal terus oleh gerasi per generasi Islam, karena ilmunya. Bagi yang merasa tidak memiliki ilmu sehebat tokoh-tokoh Islam itu, bisa mengamalkan hartanya dengan membangun sekolah-sekolah Islam.

Bekal itulah yang akan membuat kita tersenyum saat mudik ke alam kubur bertemu dengan Orangtua kita yang lebih dahulu meninggalkan kita, bertemu dengan tokoh-tokoh Islam lainnya di alam kubur. Dan, di alam kubur yang dikenal juga sebagai alam perhentian menuju hari akhirat, amal kita akan terus dikirim oleh orang-orang yang hidup di alam dunia.


Mbah Nur mengutip hadits: Aisyah r.a. –salah seorang istri Nabi saw.—bertanya, “Kita membenci kematian.” Nabi saw. bersabda, “Bukan itu yang aku maksud, melainkan orang mukmin ketika dijemput oleh kematian, ia mendapatkan kabar gembira bahwa ia memperoleh ridha dan karamah Allah, maka tidak ada sesuatu yang lebih ia sukai daripada apa yang ada di hadapannya sehingga ia amat senang untuk bertemu dengan Allah. Allah pun senang untuk bertemu dengannya. Adapun orang kafir ketika dijemput oleh kematian, maka ia mendapatkan kabar gembira bahwa ia akan mendapatkan azab dan siksa Allah, maka tidak sesuatu yang paling ia benci daripada apa yang ada di hadapannya sehingga ia tidak senang untuk bertemu dengan Allah. Allah pun tidak senang untuk bertemu dengannya.” (HR. Bukhari, hadits shahih)

Karena itu orang mukmin yang meninggal selalu dalam kondisi tersenyum, karena kematian adalah mudik besar yang bukan hanya bertemu dengan sanak saudara dan handai tolan yang telah mendahuluinya di kampung alam kubur, namun juga bertemu dengan Sang Pencipta, Allah swt.(pit)

Tidak ada komentar:

Komentar