Kamis, September 11, 2008

Menengok Masjidil Haram (2-habis)
Kurang puas di Mekkah, Tahajjud dilanjut di Nabawi


“LEGA,” kata Freddy, usai melaksanakan ibadah umarh, seraya merebahkan tubuhnya yang tambun ke kursi dan menikmati jus jeruk dingin. Sesekali teman-temannya mengingatkan agar duduknya diatur agar auratnya tak terbuka karena masih pakai dua helai kain ikhram.

”Wah iya, kalau kelihatan bisa malu aku,” canda Fredy, karyawan kontraktor pembangun tanggul Lumpur Lapindo, Porong..

Usai melaksanakan ibadah umrah yang dilanjutkan dengan salat Subuh berjamaah di Masjidil Haram, jemaah kembali ke hotel untuk istirahat, sekalian sarapan pagi. Saat itu ada pemberitahuan bahwa sore pukul 16.30 wib ada kuliah umum yang disampaikan oleh Prof Dr Mohammad Soleh, PNI, tentang Terapi Salat Tahajjud.

Materi cerama ini memang dinantikan oleh 160-an peserta umrah yang tergabung dalam Linda Jaya dan Panglima Tour & Travel dari Surabaya. Bahkan sebagian jemaah mengaku ikut rombongan umrah karena ingin mendengar dan praktek salat Tahajjud bersama Prof Dr Mohammad Soleh, PNI (Psiko Neuro Imonologi) di Masjidil Haram.

Guru besar pasca sarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya yang mengambil gelar Doktor di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya ini, telah menulis buku dari hasil disertasinya berjudul ”Terapi Salat Tahajjud”. Sebagian jemaah sudah mengenalnya, namun belum pernah mendengar ceramahnya, apalagi praktek salat Tahajjud bersama meski tidak berjamaah.

Sebelum waktu yang ditentukan ruang pertemuan sudah dipenuhi jemaah. Prof Dr Moh Soleh mengawali cerita dengan kondisi dirinya, yang terus menerus mendapatkan cobaan dari Allah swt. Diawali dengan kematian beruntun putranya. Kemudian didera penyakit kanker kulit yang belum ada obatnya. Bahkan menurut pengakuannya, mertuanya tak sanggup membiayai pengobatan dirinya.

”Akhirnya saya pasrah saja kepada Allah swt yang mencipatakan saya,” katanya.

Dia lalu menekuni ayat-ayat Al-Quran dan Hadist Nabi yang diriwayatkan oleh Buchori maupun Muslim khususnya tentang salat Tahajjud. Didapati sebuah hadist diriwayatkan oleh Buchari dan Muslim:

”Kaki Nabi Muhammad saw menjadi bengkak-bengkak karena berdiri berjam-jam lamanya dalam Tahajjud.”

Dr Moh Soleh pun mempraktekkannya dalam salat Tahajjud sesuai petunjuk Nabi Muhammad saw. ”Alhamdulillah penyakit kanker kulit saya berangsur-angsur sembuh,” katanya.

Sejak itulah Moh Soleh memelajari dampak salat Tahajjud pada kesehatan. Hasilnya, dia menemukan teori Psiko Neuro Imonologi, ilmu yang mengkaji tentang modulasi sistem imun ketika stress. Untuk meraih gelar Doktor dia melakukan penelitian pada 40 anak yang melakukan salat Tahajjud secara rutin selama 30 hari. Ternyata daya tahan tubuhnya sangat baik dan tak mudah terkena stress.

Jemaah umrah tak puas hanya mendengarkan, lalu ingin segera mempraktekkan. Namun, Prof Dr Mohammad Soleh tak mengajurkan langsung ke Masjidil Haram, tetapi praktek salat Tahajjud di ruang pertemuan hotel. Syaratnya, jemaah diwajibkan mandi besar (keramas) sebelum salat Tahajjud. Cara salat seperti yang dilakukan Rasullullah, yakni berdiri setelah membaca Al Fatihah membaca surat Al Quran yang panjang. Bila jemaah tidak hafal bisa surat pendek yang diulang-ulang.

Masing-masing gerakan salat dilakukan selama minimal 15 menit. ”Rukuk seperempat jam, lalu i’tidal 15 menit, sujud 15 menit dan seterusnya,” kata Ustadz Soleh, panggilan akrab Prof Dr Mohamad Soleh.

Menurut Prof Dr Mohammad Soleh, terapi itu baru akan terasa dampaknya bila dilakukan secara terus menerus. Selama 30 hari pertama, dipastikan terjadi gejolak di tubuh, bisa kurang tidur, sembelit, diare, tekanan darah naik, tapi hal itu tak perlu dihiraukan terus saja salat Tahajjud. Jemaah dipersilahkan konsulatsi bila mengalami masalah.

Setelah diyakini ilmu salat Tahajjud sudah diserap oleh jemaah, Prof Dr Mohammad Soleh mempersilahkan jemaah umrah untuk melaksanakannya di Masjidil Haram. Maka jemaah pun pada pukul 01.00 dini hari waktu Mekkah berduyun-duyun ke Baitullah, untuk melaksanakan salat Tahajjud. Tak dihiraukan lagi anjuran agar selalu didampingi oleh muhrim laki-laki bila seorang jemaah perempuan.

Umumnya jemaah merasa nyaman dan aman, karena lampu-lampu yang dipakai oleh kontraktor Saudi Bin Laden untuk menyinari para pekerja proyek perluasan Masjidil Haram sangat terang, hampir menyerupai pagi. Masih ditambah dengan sinar lampu di halaman Masjidil Haram terang benderang. .

”Tadi salat dimana?” pertanyaan itu yang banyak muncul, karena jemaah dibebaskan memilih lokasi sendiri di dalam Masjidil Haram. Meski kondisi Masjidil Haram cukup padat mengingat jemaah di bulan Sya’ban memang banyak, dan mencapai puncaknya ketika bulan suci Ramadhan. Jemaah mencari tempat salat Tahajjud sesuai keinginannya, ada yang memilih di Multazam, ada yang di Hijir Ismail, ada yang di dalam Masjid, ada yang di depan pintu Ka’bah atau di dekat Maqam Ibrahim.

Lima hari di Masjidil Haram tak terasa, air mata jemaah menetes lagi saat meninggalkan Masjidil Haram dan menuju ke Masjid Nabi, Nabawi, di Madina. Ternyata ada perubahan di Masjid Nabawi, yakni selama ini Masjid Nabi Muhammad saw buka pada pukul 04.00 – 23.00 waktu Madina, artinya jemaah tak bisa salat Tahajjud di Masjid Nabawi. Namun, kini Masjid Nabawi dibuka 24 jam nonstop.

”Alhamdulillah bisa Tahajjud di Raudhah (ruang diantara mimbar dan kamar Rasulullah saw),” ucap seorang jemaah.(pit)

Tidak ada komentar:

Komentar