Selasa, September 23, 2008

Lebaran tanpa Orangtua


Aku duduk termenung di teras mushollah sambil menunggu Mbah Nur Sufi datang. Semua pekerjaan yang ditugaskan kepadaku sudah selesai, menata bangku untuk mengaji hingga mengisi bak tempat wudlu jemaah. Aku melihat orang berbondong-bondong ke pasar, meski lebaran masih kurang tujuh hari. Dan semua yang balik ke pasar dan melewati musholah membawa bungkusan, aku bisa menebak isi tas plastik bertuliskan Toko "Maju". Kalau isinya antara lain, baju dan roti kaleng untuk lebaran.

Para ibu sibuk menenteng bunga Sedap Malam satu ikat dengan panjang satu meter. Bunga itu memang gampang hidup, cukup dicelupkan ke vas bunga berisi air, maka aroma sedapnya pada malam hari akan mengisi ruangan. Dan setiap hari harus disiplin memotong tangkai bawah yang tercelup air sekitar 3 cm. Biar air bisa naik ke bunga dan memberi aroma yang sedap hingga lebaran selesai.

Temen-temenku pada datang terlambat, bila hari sudah mendekati lebaran. Alasannya sama dengan puasa tahun lalu, yakni disuruh orangtuanya mengupas kulit kacang. Kacang adalah camilan yang favorit di desa bila lebaran tiba. Ibuku sering membeli kacang lalu direndam di air dingin, dan setelah itu dikupas lapisan tipisnya, sehingga kacanganya terlihat putih, dan menggoreng dengan bawah putih tidak boleh lengah, karena kalau gosong tidak 'ayu' lagi kacangnya. Demikian pesan ibuku.

Tapi ibuku maklum, waktu mengaji tiba aku diizinkan untuk ke musholah untuk mengaji dan mempersiapkan khatam Al-Quran. Setelah mengaji dan buka bersama keluarga, aku baru diminta untuk tidak main-main di luar rumah, dan harus membantu ibuku mengupas kacang atau mengaduk Jenang Madu Mongso yang terbuat dari ketan hitam yang diberi ragi hingga menjadi tape, setelah itu dimasak dalam tunggu besar, dan tidak boleh berhenti mengaduk. Meski agal melelahkan kegiatan membantu ibu itu sudah menjadi kesenangan tersendiri.

Bila sudah matang, maka giliran saudaraku yang perempuna kebagian tugas mengemas dalam kertas berwarna warni, biasanya, kuning hijau dan merah, dan diujungnya digunting seperti rumbai-rumbai. Biasanya kakaku yang sulung laki-laki suka usil mencicipi, sambil menata di dalam toples. Toples itu aku sendiri tidak tau kapan ibu belinya, karena sejak aku kecil sudah melihat toples itu. Dan Ibu jarang beli toples.

Bapak yang masih aktif bekerja sebagai militer dan pulang selalu sore, Bapak selalu sibuk mengecat rumah. Aku selalu ingat harum bau cat, bila mendekati lebaran. Bapak dibantu kakaku laki-laki yang sulung mengecat rumah dibantu seorang atau dua orang tukang cat. Ibu sambil mengkoordinir anak-anaknya yang berjumlah enam orang, biasanya pada malam hari bersama Bapak mengatur pergantian gordyn di rumah. Gordyn diserasikan dengan cat tembok.

Pernah suatu ketika Bapak mungkin salah menafsirkan warna cat sehingga warna rumahku menjadi merah. Ibu tentu kurang setuju, tapi bagaimana lagi, waktu lebaran sudah dekat, jadi show must go on, begitulah bila menyimak lirik lagu Fredy Mercuri "Queen". Jadinya ibuku juga sibuk membuat gordyn dengan warna merah, kursi rumah juga diubah menjadi merah. Rumahku menjadi Merah berani dalam menghadapi Lebaran.

Yang sampai sekarang tidak bisa aku lupakan meski kejadian itu sudah 30 tahun silam lebih yakni, menjelang lebaran. Biasanya sehari menjelang Lebaran, semua sudah dibelikan baju baru, yang sesuai dengan kemauan Ibu. Aku dan kakakku serta adikku sama sekali tidak punya hak untuk memilih warna atau model. Ibu yang lebih tau selerah kita sebagai anak. Setelah mencoba baju dan celana, langsung dimasukkan lagi ke lemari.

Sehari menjelang Lebaran Ibuku selalu beli ayam jago satu ekor dan dua ekor ayam betina. Ayahku sendiri yang menyembelih, dan aku serta kakakku yang sulung kebagian memeganginya. Dari situ aku belajar dan tau bagaimana cara menyembeli Ayam. Ayahku selalu berpesan, "Baca Bismillahirrahmanirrahim sebelum menyembelih, biar dapat ridho dari Allah."

Ayam dimasak kare khas buatan Ibu, dan sebagian dibakar dengan bumbu rujak khas ibu yang sangat pedas. Baunya menganggu orang yang menunggu waktu buka puasa. BIasanya memasak untuk persiapan lebaran, Ibu tak mau dibantu oleh orang lain. Aku hanya kebagian menemanin. Dan biasanya, Ibu mengeluarkan larangan, agar aku tidak ikut Takbiran keliling kota naik truk bak terbuka. Makanya untuk gampang mengawasi, Ibu melarang aku jauh dari dapur. Biar Ibu bisa melihat aku ada dimana.

Tapi namanya anak, aku tetap saja cari akal untuk bisa ikut Takbiran bersama teman-teman naik truk bak terbuka keliling kota sampai malam hari. Biasanya naik truk yang disewa oleh Pak Polisi di depan rumah. Setelah selesai Takbiran, aku bisa menebak, Ibu pasti marah-marah, karena aku dianggap tidak mau mendengerkan perintah dan larangannya.

Meski Ibu sangat keras mendidik aku, dan Bapak yang jarang bicara dan bila sudah dianggap kelewatan Bapak tak segan-segan memukul dengan apa saja yang ada didepannya, tapi aku sama sekali tak menaruh rasa sakit hati. Di teras Musholah itu aku berfikir bagaiman rasanya bila Lebaran tak ada lagi kedua orangtuaku. Aku sungguh takut untuk membayangkannya, karena aku masih kecil dan adik-adiku juga kecil-kecil, kakaku juga masih sekolah.

Di saat melamun itu, Mbah Nur Sufi datang dari belakang dan memegang kepalaku. "Kamu kok sendirian, mana yang lain?" tanyanya. Aku langsung menoleh ke belakang, aku Lihat Mbah Nur Sufi berdiri. Aku langsung bangkit dan menuju lapangan memanggil temen-temenku yang bergurau sambil main bola untuk kumpul.

Mbah Nur duduk di teras dan membuka sebuah Al-Quran. Dia diam sejenak, dan semua santrinya tau, harus mengawali dengan membaca surah Al Fatihah dulu. Setelah itu baru Mbah Nur membaca firman Allah swt:

"Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah engkau akan kembali." (Luqman: 14)

Mbah Nur minta semua santri memperhatikan, bagaimana Allah mengaitkan rasa syukur kepada kedua orang tua dengan syukur kepada-Nya.

Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Ada tiga ayat yang diturunkan dan dikaitkan dengan tiga hal, tidak diterima salah satunya jika tidak dengan yang dikaitkannya:

1. Firman Allah Ta'ala, `Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul'. Maka barangsiapa taat kepada Allah namun tidak taat kepada Rasul, ketaatannya tidak diterima.

2. Firman Allah Ta'ala, `Dan dirikanlah shalat serta tunaikan zakat'. Maka barangsiapa melakukan shalat namun tidak mengeluarkan zakat, tidaklah diterima.

3. Firman Allah Ta'ala, Agar kamu bersyukur kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu.' Barangsiapa bersyukur kepada Allah namun tidak bersyukur kepada kedua orang tua, tentu saja tidak diterima hal itu. Oleh karena itulah Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, Keridhaan Allah ada di dalam keridhaan kedua orang tua dan kemurkaan Allah ada pada kemurkaan kedua orang tua. (Diriwayatkan Tirmidzi dari hadits Abdullah bin Amr, hadits ini diperkuat oleh hadits Abu Hurairah).

Ini menunjukkan bahwa orangtua itu meski dari kalangan yang tidak berpendidikan sekalipun tidak boleh direndahkan atau diolok-olok oleh anaknya. Anak yang merasa pintar dan mengabaikan atau mengejek atau mengolok-olok orangtuanya, dianggap durhaka. Dan sikap durhaka kepada orangtua, Ibu-Bapak, balasannya hanya satu yaitu neraka, kecuali bagi orang yang bertaubat.

Mbah Nur lalu menanyakan, "Siapa yang sakit hati ketika dijewer oleh Ibunya?" tak satupun santri yang mengacunkan tangan. Maka, Mbah Nur pun tersenyum. Pasti kalian sakit hati, tapi kalian tidak memperluas rasa sakit hati itu, karena adanya kesadaran bahwa oratua lebih tau segalanya dan lebih memahami akibat dari tingkah laku anaknya. Dan tidak mungkin orangtua memukul anaknya tanpa alasan. Orangtua memukul anaknya tentu dengan alasan ingin menyelamatkan anaknya dari tindakan yang berbahaya, mungkin esok atau kelak kemudian hari.

"Siapa yang suka mandi di sungai Kalitengah?" tanya Mbah Nur lagi, hampir semua santri mengacungkan tangan. Mungkin yang tidak mengacungkan tangan takut dibilang banci. Karena biasanya kalau air lagi pasang semua anak mandi sungai dan yang tak berani mandi pasti diolok-olok Banci.

Mbah Nur Sufi yakin setiap kali selesai mandi sungai baik yang sudah jago berenang maupun yang baru bisa berenang pasti dijewer atau dipukul atau dicubit pahanya oleh ibunya. Itu bukan karena Ibu sakit hati atau benci, tapi karena sikap hati-hati Ibu kepada anaknya. Karena, sungai yang lagi pasang segala kemungkinan bisa saja terjadi, misalnya tenggelam, hanyut, atau terkena kayu atau batu. Selain itu sungai itu kan digunakan sebagai tempat pembuangan kotoran oleh warga jadi pasti kotor dan sumber segala penyakit.

“Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ (AI-Isra': 23)

Jangan mengatakan “ah” artinya, janganlah berkata-kata kasar kepada keduanya jika mereka telah tua dan lanjut usia. Selain itu, wajib bagimu untuk memberikan pengabdian (berbakti) kepada mereka sebagaimana mereka berdua telah memberikan pengabdian kepadamu. Sesungguhnya, pengabdian orang tua kepada anaknya adalah lebih tinggi dari pada pengabdian anak kepada orang tuanya. Bagaimana mungkin kedua pengabdian itu bisa disamakan? ketika kedua orang tuamu menahan segala derita mengharapkan agar kamu bisa hidup, sedangkan jika kamu menahan derita karena kedua orang tuamu, kamu mengharapkan kematian mereka

"Mbah bagaimana cara berbaktinya bila kedua orangtuanya sudah meninggal?" tanyaku.

Mbah Nur mengangguk. Menurutnya berbakti kepada orangtua memang disaat keduanya masih hidup. Karena itu jangan sia-siakan waktu bila kedua oratua masih hidup maka berbhaktilah dan jangan ditunda karena alasan apapun. Tapi bila orangtua sudah meninggal masih ada jalan untuk mendoakan.

Mbah Nur menukil sebuah Hadits dari Abu Usaid Malik bin Rabi’ah As-Sa’idi r.a., ia berkata: Ketika kami sedang duduk bersama Rasulullah saw., tiba-tiba datang seorang laki-laki dari suku Bani Salamah lalu berkata, “Wahai Rasulullah, apakah masih ada sesuatu yang dapat aku lakukan untuk berbakti kepada kedua orang tuaku setelah keduanya wafat?” Beliau bersabda, “Ya, yaitu mendo’akan keduanya, memintakan ampun untuk keduanya, menunaikan janji keduanya setelah mereka tiada, menyambung persaudaraan yang tidak disambung kecuali karena keduanya, dan memuliakan kawan keduanya.” (H.R.Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Ibnu Hibban di dalam Shahihnya)

Jangan pernah berhenti berdoa untuk kedua oratuamu, meski keduanya telah meninggal dunia. Karena orangtua kita yang sedang dialam kubur itu sangat menantikan doa-doa kita. Bila kelak kedua orangtua kalian sudah meninggal, bukan berarti selesai masa berbaktinya, kalian harus tetap berdoa kepadanya. Dan jangan lupa berziara kubur. Ziara kubur ini untuk mengingatkan kepada kalian bahwa kalian kelak juga akan menyusul kedua orangtua kalian ke alam kubur.

Kini aku merasakan Lebaran 1429 H (1 Oktober 2008) yang sudah tinggal 6 hari lagi, tanpa kehadiran seorang Ibu yang harus aku cium kedua tangannya dan meminta ampun, yang selalu dibalas dengan tangis disertai doa agar aku menjadi anak yang pintar kelak dan punya masa depan yang baik. Begitu juga ayahku, saat aku cium tangannya untuk meminta ampun atas segala kesalahanku, ayahku juga membalas minta maaf dan berdoa agar aku bisa menjadi anak yang pintar dan berguna, lancar rezekinya dan tercapai cita-citanya.

Aku hanya bisa berdoa, dan berziara kubur bila pulang ke Surabaya. Namun, aku tetap akan menunaikan pesan ayahku, "Jangan lupa kirim doa Al Fatihah kepada Ibumu, dan untuk Bapak biar Bapak lekas sembuh. Tambahkan dengan membaca surat Al Ikhlas, Al Falakh dan An Nas masing-masing tiga kali setelah salat fardhu," demikian pesan Ayahku saat masih sakit terbaring di Rumah Sakit Umum Sidoarjo beberapa menit sebelum menghembuskan nafas terakhir pada 15 Mei 2008.(pit)

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Assalaamu'alaikum sejarawan muda!

Salut atas inisitif menyebarkan ilmu via tulisan. Begitulah sekrang ini, sejarah dicatat tidak dalam bentuk pena dan kertas tapi include: pena,kertas, penghapus dll.

---
artikelnya mengingatkan dengan kehdipan santri2 di tempatku. Juga mengingatkan kepada kebaikan orang tua yang harus terus dihormati.

saya lebaran kali ini juga begitu tanpaorangtua, bahkan sudah sedari '87 without them.

Sedih kalau pulang kampung tapi ya begimana lagi hadza min taqdirillah...

:D

salam kenal

Pitt Ismail mengatakan...

Wa'alaikum salam wr wb

Terimakasih, atas komentarnya, saya hanya ingin menumpahkan uneg-uneg dan mengkorelasikan dengan konsidi kekinian. Mohon bila ada yang kurang tepat dikoreksi.

Wassalam,

pit

Komentar