Senin, Oktober 13, 2008

Rambut lurus Hanna

CUNGKUP. Begitu semua anak Fakultas Sastra menyebut sebuah bangunan yang hanya beratap rumbia dan lantai dari semen dengan ketinggian 100 cm di atas tanah. Hanya ada kursi panjang yang terbuat dari kayu sekitar 2.5 meter jumlahnya empat buah mengitari bangunan Cungkup yang luasnya 3 x 3 meter. Bangunan itu berdiri di tengah pohon-pohon cemara, yang sering dibanggakan para dosen yang cinta lingkungan sebagai hutan cemara di kampus.

Aku duduk sambil membawa buku "Runtuhnya Dinasti Abbasyiah", salah satu referensi matakuliah Sejarah Timur Tengah yang mempunyai kredit 4. Banyak temen seangkatan dan kakak kelas yang bilang mata kuliah ini mematikan. Namun, bagiku biasa saja, karena dosennya aku lihat cuma menghafal, dia tidak memahami benar Sejarah Timur Tengah itu. Karena setiap kali aku mencoba bertanya, tentang Dinasti Abbasyiah, jawabannya selalu dari diktat yang dibuatnya dan mahasiswa diwajibkan beli.

Bersyukur aku bisa punya buku referensi tentang Dinasti Abbasyiah lebih dari lima judul, semua kiriman dari kakakku yang tengah kuliah di Surabaya. Dia banyak mengirim buku kebutuhanku. Dia bilang, "Kalau referensi buku sejarah tak perlu beli baru, cukup beli di toko buku bekas banyak." Aku tau kakaku tidak sedang serius, lagi suka meledek sebagai ganti ongkos beli buku.

Aku bolak-balik buku setebal 400 halaman, dengan latar belakang peta Saudi Arabia, Irak dan masjid besar, entah apa nama masjidnya. Aku heran, hari ini tak banyak mahasiswa yang duduk di Cungkup. Padahal kuliah lagi banyak yang kosong karena mahasiswa baru sedang memasuki hari pertama. Aku ambil buku kecil untuk mencatat kalimat yang penting untuk footnote di paper ku, tentang Dinasti Abbasyiah. Aku semula malu mencatat kalimat-kalimat itu, karena sudah ada stabilo yang bisa menandai dengan berbagai warna yang aku suka. Tapi, aku tidak suka buku dicorat-coret.

Setiap kali ada sorakan atau tepuk tangan, aku tertarik untuk melihat asal suara riuh itu, mereka anak-anak yang lugu dengan seragam putih hitam, sedang diplonco oleh temen-temen seangkatan yang sudah sok jago, sok teladan, sok tau kampus, pokoknya sok lah. Asal jangan tanya soal prestasi saja, karena kebanyakan mereka tidak berprestasi di kampusnya. Soal nampang dan tampil di depan publik mahasiswa baru mereka terbilang jago.

Lama tak terdengar lagi suara riuh di kelas ruang 7, kelas yang cukup besar untuk kuliah umum dosen tamu atau pertemuan mahsiswa fakultas, atau tempat diskusi yang sifatnya ndakik-ndakik, kata temenku, diskusinya mahasiswa itu melip, seperti pesawat Apolo, mungkin maksud temanku pesawat ruang angkasa. Mahasiswa bila masuk ruang 7 memang diskusi masalah negara, seolah-olah kita ikut mikir negara, dan kalau tidak ikut mikir negara akan ambruk.

Aku ikuti alur cerita di halaman pengantar buku Dinasti Abbasyiah. Saat merogoh tas warna hijau yang kumal berisi sarung putih, clurit kecil dan roti kering serta beberapa buku, sarungku nyembul ke permukaan, tak diduga ada tawa kecil yang spontan dan tak dibuat-buat dari mulut seorang perempuan. Aku kaget, aku menoleh ke asal suara tawa yang aku tau itu bukan untuk meledek. Seorang perempuan bertubuh langsing tinggi sekitar 155 cm berparas putih ayu, bibir tipis tak berlipstik, hidung mancung, alis sedikit jarang, bulu matanya lentik, rambut hitam panjang lurus terurai dibawah bahu. Pita merah hanya dikenakan di rambut bagian kanan. Bajunya masih bersih, seperti baru beli mendadak tadi malam di pasar malam, kalau tidak salah.

Rok warna hitam disetrika licin banget, bila saja jariku tergores mungkin bisa berdarah. Sepatu warna hitam model biasa, seperti anak baru masuk TK, sepatunya di semir mengkilat, kaos kaki dilipat warna putih. Bulu kakinya yang agak banyak terlihat, karena kulit kakinya putih.

"Mas namanya Ismail kan?" tanyanya ramah dengan wajah agak ragu, hingga wajahnya merona merah.
"Ya, namaku Ismail Khan," jawabku.
"Kenapa?"

Dia lalu mengenalkan diri bernama Hanna, mahasiswa baru, dan diminta kakak pembina untuk meminta tanda tanganku. Dalam hatiku seumur hidupku baru kali ini aku dimintai tanda tangan. Tanpa pikir panjang, aku minta bukunya, ternyata dia menulis namaku cuma, Ismail, maka aku lengkapi dengan "Khan" biar seperti orang India atau Kasmir, atau karena aku suka sejarah setidaknya disetarakan dengan Kubilai Khan, yang orang Mongol itu.

Namaku, Ismail Khan, itu karena banyak orang nanya, "namamu Ismail kan?", maka aku lengkapi dengan nama sebutan. Aku tanda tangani kolom tanda tangan disebelah namaku. Dia diam bak terpaku, tanpa ekspresi. Dan aneh dia tak meninggalkan aku, tetap saja berdiri disampingku, aku jadi kikuk sendiri, karena belum juga pernah ada mahasiswi secantik dia mendekatiku. Aku sendiri cukup maklum karena aku juga tidak terlalu banyak punya baju, jadi baju jarang ganti, sehingga baunya mungkin agak kurang enak. kata temenku, Tengik. Tengik itu seperti rasa tape ketan hitam yang terlalu lama disimpan.

Aku diamkan dia berdiri, dan rasa percaya diriku mulai muncul, jangan-jangan dia lagi naksir aku. Atau mungkin dia pingin pintar seperti aku, karena aku mahasiswa dengan indeks prestasi tertinggi mendekati angka 4. Aku sering berseloro kepada temen-temenku, jarang mandi dan ganti baju saja, kalau pingin pintar. Sering mandi apalagi keramas, akan membuat sering lupa, dan susah menghafal. Padahal itu bukan fatwa, tapi banyak juga pengikutku di kampus, khususnya angkatanku.

Dia diam saja, tetap berdiri tak bergerak di sampingku. Aku jadi salah tingkah. "Ada apa lagi?" tanyaku berlagak agak ketus dikit. Meski hatinuraniku membisikkan, apa bedanya kamu dengan teman-temanmu yang jadi pembina yang kamu bilang serba sok itu, kalau kamu ketus pada mahasiswi yang tak berdaya ini.

"Ini, Mas Ismail Khan, kenapa Mas tidak nanya nama saya. Kenapa mas tidak memberi tugas saya sebelum memberi tanda tangan Mas," jelasnya.

Rupanya ada kewajiban untuk menjelaskan kepada teman-temannya di kelas, bagaimana pengalamannya meminta tanda tanganku. Rupanya, aku sudah dikesankan sebagi mahasiswa yang angkuh, tak mau menghiraukan orang lain, sibuk dengan kesendiriannya, dan hanya berteman dengan seorang bernama Agus. Aku baru ingat, dia baru saja minta tanda tangan Agus. Aku yakin Agus lah yang membuat cerita khayal tentang aku, sehingga ketika dia dengan muda mendapatkan tanda tanganku, dia heran sambil ketakutan. Takut kena sanksi dari pembinanya.

"Saya kuatir, Mas nanti memberi penilaian saya jelek, karena saya tadi tidak sengaja menertawakan sarung Mas yang keluar dari tas," katanya polos.

Mungkin dia pikir aku ini mahasiswa atau tukang ronda kok bawa sarung segala. Dia tidak tau makna sarung buatku. Hanya Agus yang pernah aku beri tau, kenapa aku kemana-mana bawa sarung. Pertama, aku jarang ganti celana jins, kecuali bila sudah satu setengah bulan. Kedua, karena celana jins kotor maka aku harus pakai sarung kalau salat di mana saja ketika tiba waktu salat. Ketiga, kalau uangku sudah menipis, maka aku keliling ke tempat kos teman-teman untuk nebeng makan entah siang, sore atau malam, dengan alasan menggarap paper bersama.

Karena dia minta diberi tugas, dan aku yakin semua temanku yang jadi pembina mempunyai cara memberi tugas dengan berbagai macam agar susah dipenuhi lalu diberi sanksi. Aku sederhana saja, karena dia mendesak aku memberi tugas, maka, aku beri dia tugas untuk foto dari belakang dengan syarat rambutnya yang lurus hitam terlihat indah, dan foto dari samping biar hidungnya yang mnacung nampak menonjol. Foto ukuran post card.

"Itu saja Mas?" tanyanya. Aku mengangguk.

Dia lalau jalan meninggalkan tempatku. Aku balik konsentrasi. Aku tak punya target dia memenuhi atau tidak bagiku tidak penting, toh itu tugas asal saja. Biar dia merasa mendapatkan tugas yang sulit, seperti teman-teman seangkatannya. Tapi, aku juga tidak punya persiapan bila dia tidak memenuhi tugasnya. Dia akan aku beri sanksi apa. Untuk apalah memberi sanksi, toh aku bukan dosen, bukan polisi, dan bukan Tuhan. Biarlah dia merasakan tanggungjawabnya sendiri tanpa harus ditakuti dengan sanksi. Sebagaimana Tuhan memberi sanksi kepada manusia yang tidak seketika.

****
Aku datang agak kesiangan, temen-temen pembina sudah pada kumpul, aku diberi tugas menjelaskan tentang bagaiman caranya mencapai prestasi dan meraih bea siswa. Waktu yang diberikan dua jam termasuk tanya jawab. Aku tergopoh-gopoh masuk ruang 7, Agus sudah menunggu di pintu masuk, kursi untukku sudah disiapkan. Aku mengaurangi rasa gugup masuk ruangan, meski sedikit ngos-ngosan, karena lari dari kos-kosan yang jaraknya 1,5 km dari kampus.

Saat aku duduk, hampir 320 mahasiswa sastra mengarahkan tatapan matanya kearahku. Agus sebagai moderator membacakan kurikulum vitaeku dengan gaya moderator diskusi politik, jadi aku merasa harus ikut pola Agus, aku jadi agak serius, seperti menghadapi ujian semester matakuliah Sejarah Timur Tengah. Aku coba perhatikan satu per satu mahasiswa yang seragam putih hitam. Mataku terhenti memandang ketika aku melihat mahasiswi yang kemarin minta tanda tanganku. Dia tersenyum seolah aku dan dia sudah kenal cukup dekat, senyumnya ramah dan tak dibuat-buat. Entah kenapa jantungku berdebar keras, hatiku terasa berbunga, mungkin sebagian mahasiswa yang melihatku akan terlihat perubahan warna wajahku menjadi agak semu merah meski tek terlalu kentara karena aku bukan berkulit putih, tetapi cokat tua.

Aku mulai jelaskan dengan santai, biar tak tegang, dan tidak terkesan seperti pendidikan militer, sesekali aku bumbui dengan lelucon, suara tawa pun membahana, bahkan ada yang terpinkal-pingkal, ketika aku cerita tentang caraku mencari nilai baik, mulai dari kuburan, mesjid, sampai stasiun kereta api, makanya aku kemana-mana bawa celurit, luamayan kalau ada buah rambutan, tebu atau buah lain yang menganggur, bisa dikupas. Mahasiswi cantik itu menjadi salah satu peserta yang terpingkal-pingkal.

Pada sesi pertanyaan, mahasiswi yang kemarin minta tanda tanga itu bertanya. Aku sadar, ini kesempatan untuk tau namanya, kemarin bodoh sekali aku masa kakak kelas kok tidak tanya nama adik kelas yang cantiknya seangkatan. Mungkin mataku sudah rabun atau memang kenyataannya, atau aku kurang gaul. Ketika dia menyebutkan namanya, semua temannya seolah kur mengatakan, "oh namanya Hanna toh."

Dia berdiri dengan suara keras dan sempat menolak saat diberi mikrophone, dia bertanya untuk menjadi mahasiswa dengan prestasi gemilang, indek prestasi tinggi, berapa jam sehari untuk waktu belajar, dan berapa jam untuk tidur. Mendengar kata tidur, para mahasiswa jadi ribut, "kok nanya tidur segala, memang pingin tidur bareng apa," celetuknya, disambut tawa mahasiswa. Muka Hanna menjadi memerah, namun dia tak menampakkan marah atau tersinggung, dia lalu duduk lagi.

Aku ceritakan dulu kenapa aku bisa berprestasi, bukan karena aku pintar, karena orangtuaku tidak punya biaya untuk kuliahku. Aku hanya mengandalkan bea siswa untuk hidup dan kuliah, sehingga tak punya pikiran untuk lainnya. Agus pun menyeletuk, "Siapa yang kemarin dapat tugas minta tanda tangan Mas Ismail Khan?" mendengar ungkapan Agus, Hanna langsung berubah warna diwajahnya menjadi memerah. Aku jadi ingat, pasti Hanna lupa akan tugasnya, tapi biarlah, dalam hatiku berkata, bukankah manusia tempatnya lupa dan khilaf.

"Siapa yang bisa tau nama pacar Mas Ismail Khan, akan bebas tugas menulis paper hari ini?" kata Agus serius.

Agus rupanya berharap Hanna bisa mengorek banyak tentang diriku, termasuk tanya nama pacar dan hobiku. Tapi Agus tak berhasil karena tak ada kata-kata yang keluar dari bibir Hanna yang tipis, entah lidahnya keluh entah faktor apa?

Teman dekat Hanna mencolek Hanna agar menjawab. Tapi Hanna menggelengkan kepala. Aku yakin pertanyaan ini hanya akal-akalan Agus saja, karena Agus tau aku memang belum berpacaran sejak awal masuk kuliah. Alasannya, tidak cukup uang untuk mentraktir bila pacar mengajak jalan.

Setelah selesai aku memberi paparan tentang prestasi, peserta diminta istirahat sejenak untuk meluruskan badan karena sudah 3 jam duduk bersilah di karpet. Aku dan Agus menunggu mahasiswa keluar ruangan lebih dulu. Tak disangka, Hanna datang menghampiriku, sambil menyerahkan amplop warna coklat, bertuliskan, DEAR MAS ISMAIL KHAN.

Agus terus memperhatikan amplop coklat itu. Dia langsung memanggil Hanna. "Hei, kamu coba-coba menyuap kakak kelas ya?" bentak Agus.

Hanna, dengan wajah pucat, bibirnya bergetar. Sebagian mahasiswa yang melihat terhenti berjalan keluar ruangan. "Bukan, Kak, ini tugas yang diberikan Mas Ismail Khan kepada saya kemarin," katanya terbata-bata. Wajahnya makin cantik bila ketakutan, bisik Agus kepadaku. Dasar Agus, pemain drama, dia pandai memainkan peran.

Aku buka isi amplop coklat, sementara Hanna masih berdiri di depanku, dan Agus duduk disampingku. Aku lihat foto rambut dia dengan pose membelakangi lensa, secara cermat, rambutnya lurus berkilau begitu indah. Aku hanya melontarkan pertanyaan, apakah dia keramas dan pakai conditioner dulu sebelum foto. Di luar dugaan dia mengangguk, sambil tersipu malu. Satu lagi foto aku lihat secara teliti, benar perkiraanku, selain rambutnya yang indah dan tubuhnya yang langsing, hidungnya juga terlihat mancung.

"Mana foto yang tampak depan?" tanya Agus ke Hanna, yang langsung dibalas dengan gelengan kepalanya.

"Mas Ismail Khan hanya minta foto itu, tidak ada permintaan dari depan," jelasnya sopan. Agus jadinya agak malu karena sok tau.

"Oke, tugas mu sudah selesai, mana buku yang harus aku tanda tangani," pinta ku. Hanna pun langsung menyodorkan kolom tanda tangan, kali ini dia menulis lengkap namaku dan sebutanku, Ismail Khan.

"Mas, tapi bukan untuk dipeletkan fotoku?" tanya berkelakar.
Dia tersenyum saat Agus menjulurkan lidahnya, sebagai asosiasi "melet" dalam bahasa Jawa berarti menjulurkan lidah keluar.

Foto aku selipkan ke buku "Teori Konflik". Aku dan Agus lalu berkemas keluar dan menuju kantin untuk cari isi perut, karena belum sempat sarapan, mengingat uang sudah menipis. Kiriman orangtua, bak menunggu tokek berbunyi, kadang datang kadang tidak. Tapi hidup memang harus disyukuri, untung orantuaku mendoakan aku jadi mahasiswa dan bisa kuliah.

****
"Is, Is tunggu," teriak Agus dari tempat parkir sepeda motor melihat aku berjalan cepat mengejar bus kota.

Aku berhenti dan membiarkan bus kota berjalan pelan meninggalkan aku. Padahal itu adalah bus kota yang paling gampang dibodohi, artinya aku sering belum sempat ditarik bayar, sudah turun duluan. Sebulan bisa dihitung aku bayar bus kota, tidak lebih dari tiga atau empat kali. Selebihnya tidak bayar.

Agus dengan motor bututnya, mendekatiku. Dia menyodorkan brosur dari sebuah perusahaan sampho tentang Lomba Foto Rambut Indah. Aku tidak mengerti maksud Agus. Dia lalu menarikku agar aku tidak mengejar bus kota. Aku pun terhenti.

"Is, kamu ingat ga foto Hanna, bisa diikutkan ke lomba ini," katanya.

Aku heran sudah lima bulan berselang, aku tak melihat lagi foto wajah Hanna. Sebulan paling sekali ketemu dengan anak semester I itu, itupun kalau kuliah Filsafat Pancasila. Aku memang beberapa kali duduk berdampingan dengan Hanna, ternyata dia tipe cewek yang enak diajak bicara tidak sombong, santun dan mau mendengarkan. Bahkan, dia cuek dengan dosen yang terus ngoceh soal Pancasila. Dia bilang, "Mau diapakan lagi, Pancasila ya tetap ada lima sila," katanya, sambil senyum.

Dia beberapa kali juga datang ke tempat kos ku, tapi katanya kosong. Aku memberi jadwal bila ingin ketemu, aku seperti orang sibuk, padahal aku sibuk numpang makan sana-sini, dengan kedok mengerjakan tugas kuliah di kos para mahasiswa yang malas, bodoh tapi anak orang kaya. Aku juga tiga kali berkunjung ke tempat kos Hanna. Dia menemui dengan santai pakai celana pendek dan kaos bertulisakan Kejuaran Basket tingkat Kabupaten. Aku mengira dia jago basket ternyata kaos milik kakaknya, katanya.

Aku tak pernah melihat Hanna dibonceng motor atau naik mobil bersama mahasiswa lain, jalan berdua sepulang kuliah pun sepertinya hanya dengan aku, selebihnya diapulang bareng teman-teman perempuang seangkatannya. Aku jadi Ge-Er sendiri. Tapi aku tidak berani mengatakan bahwa Hanna adalah pacarku. Kita hanya cerita-cerita soal kuliah. Dan Hanna tertutup tentang keluarganya. Dia bilang asli Ponorogo, tapi alamat lengkapnya dimana aku tidak pernah ingin tau, dia pun tak berniat untuk memberi tau.

Saat Agus menyebut nama Hanna, aku merasa sudah 3 minggu tak melihatnya lagi di kuliah Filsafat Pancasila. Aku juga tak ingin tanya kepada teman-teman seangkatannya, kuatir dikira punya perhatian khusus. Di absensinya dua kotak tak ada tanda tangannya, artinya dia sudah dua kali meninggalkan mata kuliah ini. Aku sekali absen, jadi tiga minggu aku tak bertemu.

Aku dan Agus lalu mencari ke tempat kosnya. Ibu kosnya yang muncul dan bilang, Hanna pamit pulang sudah dua minggu lalu, katanya ada urusan mendadak. Ibu kosnya juga tidak memberi tau, dimana alamat rumahnya. Maka rencana minta izin untuk mengikutsertakan foto Hanna dalam lomba pun batal.

"Udah ikutkan saja, nanti kalau menang, uangnya berikan Hanna, jadi kamu jadi orang yang berjasa," kata Agus.

****

Ruang senat lagi sepi, aku melintas di depannya, secara samar ada bayangan dari kaca seseorang memanggilku dan tangannya dilambaikan. Aku berhenti aku lihat dengan jelas, Agus duduk di meja Ketua Senat. Aku masuk dengan mengucapkan Assalamu'alaikum. Dia jawab, lalu dipersilahkan duduk, aku diperlakukan seperti mahasiswa baru. Aku sungguh tak kaget dengan gaya pejabat ketua senat ini. Agus lalu menyodorkan surat tebal, amplop warna putih dengan logo perusahaan sampho. Aku sudah agak lupa karena itu sudah sebulan lebih aku kirim, dengan nama pengirim aku dan alamat surat menyurat menggunakan namaku, Ismail Khan.

Aku disuruh Agus membuka. Setelah aku buka, dan aku baca, "Berdasarkan pertimbangan para Juri maka Sdri Hanna Rahesadian, menjadi juara I," aku baca dengan keras, lalu kita bersorak dan berteriak bersama. Tak sadar kau langsung sujud syukur. Agus mengingatkan, harusnya yang sujud syukur itu adalah Hanna. Tapi karena sudah telanjur aku jadi malu.

Setelah prosesi penyerahan hadiah, aku berkilah Hanna sedang berhalangan hadir dan Agus sebagai Ketua Senat dan Pembantu Dekan III menandatangani surat kuasa maka aku ambil uang Rp 3.000.000 dan bingkisan sponsor, serta jalan-jalan keliling Jawa dengan menggunakan mobil sponsor.

Aku manfaatkan untuk mencari rumah Hanna di Ponorogo berbekal alamat di Bagian Admistrasi Mahasiswa. Desa Pucung, ternyata bukan tempat sembarangan, lokasi 35 km dari kota Ponorogo, udaranya dingin. 5 km sebelum mencapai desa Pucung mobil harus berhenti dan rela diantar pakai sepeda pancal. Aku pun minta tolong diantar ke Balaidesa untuk mencari data lengkapnya.

Tibalah aku di sebuah rumah semi permanen, di pinggir tebing yang curam, dan cukup jauh dari tetangga lainnya. Seorang nenek duduk di depan pintu sambil termenung melihat kedatanganku bersama dua orang perangkat desa. Nenek itu, ketika aku tunjukkan foto Hanna, dia meneteskan airmata, dan tak bisa menahan tangis. Seorang bapak separo baya yang sedang mencangkul ladangpun mendekati, dan melihat foto Hanna.

Dia lalu mempersilahkan duduk di kursi kayu di dalam ruang tamu yang hanya berlantai semen dan sebagian sudah rusak. Dia menjelaskan, benar ini rumah Hanna. Dia sekarang sedang di rumah sakit. Kata warga sekitar Hanna terkena tampar Gondoruwo, kepalanya berkunang-kunang, dan matanya sayu, mukanya pucat.

"Mbah Warijan, dukun di sini bilang, Hanna menolak diajak kawin sama gondoruwo, lalu gondoruwo marah dan ditamparnya," jelas bapak yang tak menjelaskan identitasnya.

Nenek itu lalu masuk dan mengajakku melihat kamarnya. Hanya ada kasur dari kapuk yang sudah lusuh, sprey warna biru, baju putih dan rok hitam yang baru disetrika licin digantung di lemari yang kacanya buram dan pecah, dan foto dia yang dipasang dengan pigora dengan dua pose permintaanku. Tak ada barang berharga di kamarnya, tas kuliah dan beberapa buku kuliah serta diktat. Buku Filsafat Pancasila tergolek tak berdaya diatas bantal. Entah kenapa, apakah Hanna membacanya untuk menghindari Gondoruwo, karena mengira Pancasila sakti atau mungkin Hanna benar-benar membaca untuk persiapan ujian semester yang tinggal dua minggu lagi.

Ada surat bersampul coklat yang menarik perhatianku, aku dekati, DEAR Mas Ismail Khan. Aku yakin surat itu akan dikirim ke aku, maka aku beranikan untuk membukanya, karena belum di lem amplopnya.

"Mas, Ismail Khan, dimanapun berada, aku terimakasih atas jasa baik Mas, aku tak bisa melupakan sampai kapanpun. Beribu-ribu maaf bila selama ini aku tak menjawab budi baik Mas. Aku sebenarnya sayang sama Mas, tapi mas orangnya serius banget, jadi aku takut menyampaikan. SEbelum sakitku parah aku sebenarnya ingin pamit Mas. Aku ingin mas mengantarku sampai ke Terminal, tapi Mas lagi sibuk kuliah, tugas Kuliah Kerja Nyata, Mengurus Oragnisasi esktra, aku urungkan niat untuk menganggu mas Is. Aku merasa punya, kakak, teman, atau mungkin bila mas tidak keberatan pacar yang tau tentang aku. Tapi aku takut cerita diriku yang sesungguhnya. Karena aku merasa tidak selevel dengan mas. Aku anak sebatangkara, diasuh oleh nenek yang bukan nenekku. Tapi dia sayang dan rela menjual apa saja untuk biaya sekolahku. Sampai aku ketemu mas di kampus. Mudah-mudahan Allah swt mempertemukan kita, bila umurku panjang. Cinta dan sayangku hanya untuk mas, meski kita hanya 7 kali bertemu dan bercerita-cerita. Tak ada kata yang bisa mengganti budi baik Mas, Ismail Khan. Salam, Hanna."

Aku pun bergerak menuju rumah sakit yang dimaksud nenek itu, meski nenek itu mengaku tak tau, karena yang membawa Hanna ke rumah sakit adalah Pak Haji Mustofa, orang terkaya di dusun Krajan, Desa Pucung.

Sesampainya di rumah sakit, aku melihat Hanna tergolek tak berdaya dengan mengenakan pakaian dari rumah sakit warna biru muda. Tak ada yang menunggu, kamarnya pengab, karena sekamar diisi enam pasien. Di pintu masuk ditulis untuk Khusus Pasien Gakin (Keluarga orang miskin). Infus dan bantuan pernafasan menjadi teman untuk mempertahankan hidupnya. Hanna tak bisa melihat dan bisa bergerak, tak berdaya. Tak ada sanak famili yang menunggu, atau teman yang menenguk. Dia benar-benar sebatang kara. Pasien disampingnya memberi tau sejak masuk, hingga dua minggu tak ada satupun orang yang menjenguk, tak ada satupun orang yang tau darimana gadis cantik itu berasal. Hanya suster yang merawat dan memandikan.

Aku berdiri menatap wajahnya, nafasnya perlahan, wajahnya pucat, bibirnya putih, badannya makin kurus. Dia hanya dapat asupan makanan dari infus. Seorang dokter dan suster mendekati, lalu memeriksa keadaan Hanna. Dokter tersenyum, suster ikut tersenyum, namun tak ada kata-kata, tentang kesehatannya.

"Anda, saudaranya?" tanya dokter

Aku mengangguk. Dokter bilang, sering saja dijenguk biar kondisinya membaik. Dia butuh perhatian, tak ada sanak saudaranya yang menjenguk. SEbelum Dokter dan suster berlalu dia menepuk pundakku dan mengatakan, Hanna sakit ginjal dan menunggu pendonor ginjal. Aku tak tega melihat kondisi Hanna. Tapi aku sendiri tak bisa berbuat-apa-apa, karena aku tak punya uang kecuali uang saku dan uang bea siswa yang baru saja aku cairkan dari bank.

Aku tunggu sampai bermalam sehari, namun Hanna tetap tak bergerak dan tak ada tanda-tanda membaik. Aku ingat ada tugas kuliah yang menunggu tiga hari lagi, yakni presentasi tentang paperku, Filsafat Pancasila. Aku segera mengunjungi ruang admisnistrasi dan memberikan uang hak Hanna sebesar Rp 3 juta, dan uang bea siswaku Rp 75.000, untuk biaya pengobatan Hanna.

Meski sudah dijelaskan bahwa Hanna akan menggunakan kartu keluarga miskin, aku tetapkan serahkan uang itu. Dan aku pamit pulang. Saat hendak keluar ruangan, seseorang memintaku untuk mengisi form tentang identitasku lengkap. Aku pun menjenguk lagi kondisi Hanna, tak terasa air mataku meleleh, melihat Hanna seorang diri tak berdaya. aku pun dengan berat hati meninggalkan kamarnya, dan keluar kembali pulang ke kampus.

*****

12 tahun kemudian

Aku duduk di ruang kerja Agus, ruangannya luas 4 x 6 meter, berlapis wall paper dengan nuansa alam pegunungan dan air sungai serta anak-anak kecil yang melompat dari puncak batu di pinggir sungai. Hiasan wall paper itu sangat kontras dengan kondisi di luar kantornya yang gersang. Mana ada sungai dan bukit hijau di Jeddah, Arab Saudi dalam hatiku. Agus menghampiriku sambil membetulkan dasi merahnya dengan pin penjepit logo pesawat kecil terlapis emas.

"Sejak kapan kamu jadi bos di airlines ini?" tanyaku.

Dia menceritakan sejak lulus, dia kerja sambil melanjutkan kuliah manajemen atas bea siswa kantornya di Amerika, setelah itu jadi pemasar tiket perusahaan penerbangan Timur Tengah. Menurutnya baru dua tahun jadi General Manager di Jeddah. Kita berduapun bernostalgia. Aku menyampaikan rasa terimaksih mendapat fasilitas umroh dengan tiket diskon darinya.

"Ah, apalah arti tiket dibanding dengan susah payahmu dulu membuatkan aku paper," katanya ringan, sembarai tertawa lebar.

Sekretaris Agus mengetuk pintu, dan memberi tau, ada penumpang yang kehilangan tiket pulang ke Jakarta. "Penumpang itu ngotot ingin bertemua dengan Pak Agus," katanya.

Agus pun mengintip dari jendela ruangannya. Seorang wanita usianya sekitar 30-an sedang berdiri gelisah, berkerudung dan berbusana muslim, menggunakan kacamata hitam. Aguspun minta agar tamu dari Jakarta itu masuk.

"Ya sekalian silaturahmi dengan orang kita sendiri," kelakar Agus.

Wanita yang kehilangan tiket pulang itupun masuk dan duduk di depan meja Agus. Setelah bercerita panjang lebar, Agus akhirnya bisa menerima alasannya. Sebelumnya Agus mengecek dulu nomor penerbangan dia di komputernya. Aku tidak tertarik untuk mendengarkan, karena itu sudah menjadi pekerjaan Agus.

"Oke Bu, sekarang saya buatkan tiket pengganti. Boleh saya tahu nama Ibu," pinta Agus ramah, sesuai gaya seorang marketing.

"Nama saya, Hanna Rahesadian," jawabnya pelan namun tegas.

Agus langsung berhenti menulis. Wajahnya yang semula menatap tiket, beralih menatap wajah wanita cantik di hadapannya. Wanita itupun kaget dan heran melihat perubahan perangai Agus. Agus menoleh kearahku, dan memanggil namaku.

"Is, Is coba lihat siapa ini," katanya setengah teriak.

Aku melipat majalah yang aku baca, lalu memperhatikan wanita yang duduk di depan Agus. Wanita itupun seolah terkena magnetku, dia memandangiku terus, tak sadarkan diri aku dan dia bertatapan pandang. Agus senyum-senyum.

"Hanna kan, itu Ismail Khan," kata Agus.

Aku dan Hanna berdiri, Agus pun berdiri. Agus seolah mempersilahkan aku untuk mendekatinya.

"Cintamu telah menemukan pelabuhannya Is," kata Agus tersenyum.

Aku seperti ditarik oleh tambang yang begitu kuat, dan memaksa aku mendekat dan memeluknya. Hanna menangis tersedu-sedu di pelukanku, aku juga tak bisa kendalikan diri, aku peluk erat Hanna, dan tak menghiraukan lagi Agus yang begong karena ruang kerjanya untuk tempat bermesraan mendadak.

"Is, ini tiketmu sudah aku tunda keberangkatannya, sudah kamu balik lagi ke Baitullah bersama orang yang kamu tunggu selama 12 tahun ini," katanya.

Aku mengangguk. Aku lupa menanyakan, apakah Hanna sudah berkeluarga, namun dari anggukan Hanna, menunjukkan bahwa dia setuju kita menikah di Baitullah.

"Bagaimana aku bisa melupakan Mas Is, ginjal mas menyelamatkan jiwaku," bisiknya.(pit)

1 komentar:

Anonim mengatakan...

kenapa Hanna rambutnya lurus

Komentar