Kamis, Maret 12, 2009

Calon Legislatif mulai kesurupan

Sedih rasanya melihat kampanye pada pemilu 2009 ini. Sedihnya hampir semua calon legislatif yang bertarung pada Pemilu 2009, tepatnya 9 April 2009, seringkali mengahalalkan segala cara. Mereka tak segan-segan memasang poster besar-besar dengan foto diri terpampang besar bertuliskan nomor urut dan nama serta partai. Tak ada pesan khusus yang spesifik untuk perubahan bagi negeri ini.

Semula poster calon legislatif hanya bertebaran di setiap sudut jalan yang padat lalu lintas, namun kini setiap ruang kosong menjadi incaran, bahkan kuburan pun tak luput dari bidikan tim sukses. Dulu orang sering menakut-nakuti anaknya jangan main ke kuburan nanti kesurupan (kemasukan setan), namun zaman telah berubah justru setan yang kesurupan caleg.

Perilaku caleg yang bertarung merebut suara habis-habisan ini tak lepas dari hasil keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan gugatan uji materi atas pasal 214 huruf a, b, c, d, dan e UU No 10/2008 tentang Pemilu 2009. Sehingga penetapan calon anggota legislatif pada Pemilu 2009 tidak lagi memakai sistem nomor urut dan digantikan dengan sistem suara terbanyak.

Pasal 214 huruf a, b, c, d ,dan e UU No 10/2008 tentang Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD, dinilai bertentangan dengan UUD RI 1945. Selanjutnya, menyatakan pasal 214 huruf a, b, c,d, dan e UU No 10/2008 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Pertimbangan dari putusan ini di antaranya, ketentuan pasal 214 huruf a,b,c,d, dan e UU No 10/2008 yang menyatakan bahwa calon anggota legislatif terpilih adalah calon yang mendapat suara di atas 30 persen dari bilangan pembagian pemilu (BPP) atau menempati nomor urut lebih kecil, dinilai bertentangan dengan makna substantif dengan prinsip keadilan sebagaimana diatur dalam pasal 28 d ayat 1 UUD 1945.

Keputusan itu mengubah segala strategi caleg, termasuk menguras uang caleg. Bagaimana tidak, caleg dengan nomor urut kecil, tentu tidak dengan gratis mendapatkannya dari partai, uang lebih banyak bicara pada pengurus partai, agar dapat nomor urut satu atau dua. Nah, setelah deal sudah terjadi dan tak sedikit dana yang digelontorkan untuk partai mulai dari Rp 50 juta untuk caleg DPRD Kota atau Kabupaten hingga miliaran rupiah untuk Caleg DPR RI. Dengan mengantongi nomor urut satu atau dua, bisa diharapkan caleg akan melaju dengan muda ke gedung wakil rakyat yang megah dan penuh dengan fasilitas menggiurkan.

Namun MK berkata lain, semua harapan Caleg menjadi bubar. Caleg yang berada di urutan nomor kecil, selain sudah keluar uang, masih harus keluar uang lebih banyak lagi untuk kampanye, dan bukan saja bersaing dengan caleg dari partai lain, tapi bersaing dengan teman se-partai. Pertarungan ini tentu memberatkan bagi caleg. Pasalnya, caleg diurutan atas, biasanya mereka ini elitis sehingga tidak memiliki basis massa yang kuat. Bahkan, seringkali drop-dropan dari pusat, masyarakat tempat daerah pemilihannya banyak yang tidak mengenalnya.

Sementara caleg yang berada diurutan bawah dengan dana yang minim dan memiliki basis massa kuat, juga tidak berarti harus santai dan tenang, mereka selalu dihantui oleh ketakutan serangan money politic baik dari teman separtai maupun dari partai lain. Hal inilah yang membuat caleg berkerja seperti orang kesurupan, tak mengenal waktu dan tempat. Kerja keras, meningkatkan kehadiaran di masyarakat menjadi pilihannya. Kampanye dengan mengudang massa di alon-alon atau di lapangan bola, hanya mengabiskan uang dan memperkaya tim sukses saja.

Hasil survey lembaga survey juga belum mencerminkan kondisi riil di masyarakat meski lembaga survey itu mengklaim margin error tidak lebih dari 1 persen. Masyarakat pemilih masih sulit diprediksi, dan alat peraga kampanye tidak terlalu banyak membantu, mengingat rakyat sudah bosan dengan janji, dan muak melihat ulah wakil rakyat kita. Apalagi belakangan ini, ulahnya tersingkap dengan jelas, mulai melacur, pelecehan seksual, hingga korupsi. Banyak perilaku tak terpuji yang ditampilkan daripada hasil kerja yang membela rakyat.

Rakyat perkotaan tentu akan bingung, karena ukuran loyal pada caleg sangat relatif. Masing-masing caleg di mata masyarakat perkotaan tak ada lebihnya, meski semua diberi embel-embel gelar. Ada seorang teman yang berkelakar, "Lha wong dukun pengobatan alternatif saja berani menggunakan gelar profesor, sementara dukun itu sendiri kuliah saja tidak pernah apalagi mengajar mahasiswa. Jangan-jangan para caleg juga sama dengan dukun itu, asal pakai gelar biar dibilang pintar," katanya.

Rakyat di desa dianggap bodoh dan hampir semua turun dan masuk ke pedalaman, dengan memberikan janji-janji. Padahal justru rakyat di desa itu yang merasakan betapa pahitnya hidup di zaman reformasi ini. Koruptor ditangkapi, anggota DPR yang terhormat ditelanjangi, harga minyak di turunkan tapi harga bahan pokok tetap tinggi, suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) diturunkan tapi bunga kredit komersial bank tidak mau turun.

Apa yang bisa diharapkan dari para caleg di saat krisis mendera secara global. Hal yang pasti caleg berupaya mencari dana untuk menabayar utang dana kampanye, setelah itu caleg akan mencari uang untuk keluarganya, karena tidak sedikit dari caleg itu pengangguran, setelah itu caleg sibuk menyiapkan dana untuk partainya, setelah itu caleg sibuk mencari dana untuk gaya hidupnya. Setelah itu untuk membangun usaha, dan setelah itu masa kerjanya habis. Jadi rakyat harus sabar dan tetap sabar.(*)

Jumat, Desember 19, 2008

Amerika lebih takut riba?

Mata uang dolar AS mencatat rekor terendah merosotnya terhadap euro dan turun terhadap mata uang utama lainnya pada Rabu (18/12) waktu setempat, sehari setelah Federal Reserve memangkas suku bungannya menjadi hampir nol.

Pada 2200 GMT, euro diperdagangkan pada 1,4404 dollar, naik tajam dari 1,4018 dollar akhir Selasa. Semula, mata uang tunggal Eropa telah melonjak menjadi 1,4437 dollar, level tertinggi sejak 29 September. Itu kenaikan euro paling kuat terhadap greenback sejak mata uang itu diluncurkan pada Januari 1999. Euro juga meningkat menjadi 126,02 yen dari 124,74 yen pada akhir Selasa.

Dollar juga melemah terhadap mata uang Jepang, diperdagangkan pada 87,95 yen dibandingkan dengan 88,98 yen pada Selasa. Yen semula mencapai posisi tertinggi 13-tahun terhadap dollar pada 87,11 yen.

Mata uang AS di bawah tekanan setelah Federal Reserve pada Selasa memangkas suku bunganya ke level historis terendah dari 1,0 persen menjadi ke kisaran 0 hingga 0,25 persen dan akan mempertahankan suku bunga rendahnya untuk beberapa waktu.

The Fed juga mendorong penggunaan sebuah peralatannya untuk mencairkan kebekuan kredit serta menstimulus pertumbuhan ekonomi secara all-out memerangi resesi yang telah berjalan setahun. Upaya The Fed ini rupanya justru memukul balik dolar dan menimbulkan ketidakpercayaan pada dolar AS. Pembelian mata uang euro justru meningkat.

Dari sisi transaksi komoditas mata uang pada saat bunga bank kecil memang sangat tidak menarik dan mudah untuk ditinggalkan. Pasalnya, para pemilik uang berharap uangnya bertumbuh kembang, dengan instrumen suku bunga yang tinggi. Hanya saja, bagi The Fed, bunga yang tinggi sama dengan bunuh diri, di saat negara mau runtuh akibat kredit macet yang demikian besar, yang membuat ekonomi seret.

Bunga yang mendekati Nol persen ini menarik untuk disimak, bukan saja dari sisi finansial, namun dari sisi pembelajaran umat untuk tidak ketergantungan pada bunga dalam mengembangkan dana pribadi atau lembaga adalah terobosan yang sangat mulia. Islam sendiri sudah sejak 14 abad silam melaranng adanya pengembangbiakan uang dengan cara membungakan atau bunga berbunga, alias riba.

Islam mengizinkan umatnya untuk mengembangkan modal dengan cara perdagangan, sebagaimana firman Allah swt:

"Hai orang-orang yang beriman! Jangan kamu makan harta kamu di antara kamu dengan cara yang batil, kecuali dengan jalan perdagangan dengan adanya saling kerelaan dari antara kamu." (an-Nisa': 29)

Perdagangan yang dimaksud dalam Al Quran tentu perdagangan natura. Saat ini memang sedang berkembang perdagangan dalam bentuk komoditas mata uang. Dolar AS merupakan mata uang yang paling banyak diperdagangkan di dunia. Selain sebagai mata uang sebagai alat transkasi, dolar AS juga untuk mengembangbiakkan modal. Pasalnya mata uang Amerika ini selalu berjaya diatas mata uang lain di antero jagad ini.

Pengusaha ataupun orang kaya di Indonesia pun gandrung memperjual belikan dolar AS, untuk melipatgandakan kekayaan. Bagi yang tidak tertarik dengan perdagangan, maka cukup berdagang dolar AS, dengan cara pagi dibeli sore dilepas, atau ditabung dengan harapan mendapatkan bunga yang tinggi dibanding dengan ditabung dengan menggunakan mata uang rupiah.

Pemerintah Indonesia terus berupaya untuk mengajak para pengusaha maupun perorangan yang suka memperdagangkan Dolar AS mengganti dengan rupiah, dengan iming-iming suku bunga tinggi. Iming-iming inilah yang menjadi titik awal perburuan bunga tinggi dikalangan pemilik modal, yang secara tidak sadar mendorong masuk kejurang riba.

Meski Allah swt telah berfirman sejak 14 abad silam dalam Al Quran:

"Hai orang-orang yang beriman! Takutlah kepada Allah, dan tinggalkanlah apa yang tertinggal daripada riba jika kamu benar-benar beriman. Apabila kamu tidak mau berbuat demikian, maka terimalah peperangan dari Allah dan Rasul-Nya, dan jika kamu sudah bertobat, maka bagi kamu adalah pokok-pokok hartamu, kamu tidak boleh berbuat zalim juga tidak mau dizalimi." (al-Baqarah: 278-279)

Amerika sekarang menerapkan bunga hampir nol persen, tentu bukan karena takut siksa Allah swt, namun lebih takut pada krisis finansial yang berkepanjangan. Entah sampai kapan kebijakan The Fed itu akan berlangsung. Dan, itupun masih trail and error, karena dalam beberapa hari saja, mata uang dolar AS langsung terpuruk.

Namun cara Amerika ini selalu dengan perhitungan matang, bisa jadi ini akan berlangsung lama, sehingga masyarakat Amerika terbiasa untuk tidak mendapatkan bunga saat menabung di bank. Harapannya, pemilik modal tidak hanya berpangku tangan terus mendapatkan bunga besar dan uangnya terus menggunung. Bisa jadi pemerintah berharap, semua pemilik modal mau bekerja dan melakukan transaksi perdagangan, sehingga ekonomi Amerika menjadi tumbuh.

Bila saja semangat AS untuk menahan bunga rendah mendekati nol itu berhasil, alangkah hebatnya AS. Tanpa harus takut riba, tapi cara yang dilakukan sungguh seperti yang telah diperintahkan oleh Allah swt. Tanpa fatwa MUI, tanpa harus sering datang ke pengajian, krisis membuat mereka harus menerapkan ajaran Islam tanpa mereka harus masuk Islam.

Bagaimana dengan umat Islam di negeri kita. Hingga saat ini masih saja banyak yang berharap bunga bank tinggi sehingga mendapatkan kapitalisasi modal tanpa harus kerja keras. Kesadaran untuk bekerja keras dulu, baru menikmati hasil, seperti yang dilakukan oleh para bule AS itu tidak bisa diterapkan di negeri ini.

Karena itu, meski MUI memfatwakan bunga bank adalah riba, dan riba adalah haram. Bisa dipastikan fatwa itu hanya di dengar oleh sebagian kecil umat Islam yang kaya. Sebagian besar umat Islam yang kaya dan tak ingin kerja keras, tentu berharap hidup dari bunga depositonya. Artinya masih tega menikmati bunga bank yang jelas haram.

Padahal Allah telah memproklamirkan perang untuk memberantas riba dan orang-orang yang meribakan harta serta menerangkan betapa bahayanya dalam masyarakat, sebagaimana yang diterangkan oleh Nabi:

"Apabila riba dan zina sudah merata di suatu daerah, maka mereka telah menghalalkan dirinya untuk mendapat siksaan Allah." (Riwayat Hakim; dan yang seperti itu diriwayatkan juga oleh Abu Ya'la dengan sanad yang baik)

Jadi siapa yang harus diperangi? Orang Amerika yang jelas Yahudi tapi tidak memberi bunga, atau Umat Islam Indonesia yang melaksanakan ibadah sesuai dengan ajaran Rasulullah saw tetapi masih menikmati riba? Mari kita renungkan.(pit)

Komentar